Ilustrasi |
KM. Salaja Kampo--Untuk masuk
di salah satu sekolah favorit di Kabupaten Bima ternyata tidak gampang. Terlebih
bagi siswa yang tergolong miskin. Pasalnya, untuk masuk di sekolah yang
terbilang favorit, seperti di SMA 1 Woha, para siswa ini harus merogoh kocek
yang tidak sedikit. Berikut Laporannya bersama Edo Salaja Kampo.
Kebahagiaan terpancar
di raut wajah siswa saat diterima di SMA Negeri 1 Woha. Kebahagiaan ini
ternyata hanya sesaat dirasakan para siswa dan wali murid. Karena di sekolah
itu, para siswa harus membayar administrasi yang cukup mahal dan ribet.
Melanjutkan
pendidikan menengah di sekolah tersebut, tidak bisa hanya mengandalkan
kepintaran calon siswa. Tanpa sejumlah uang dengan alasan uang pembangunan,
baju seragam, dan sebagainya, jangan harap anak bisa bersekolah di sekolah ini.
Beberapa
orangtua siswa menyatakan, pembayaran administrasi untuk pendaftaran ulang sangat
membingungkan. Mereka diharuskan membayar biaya ini dan itu dalam jumlah yang tidak
sedikit buat orangtua yang berpenghasilan pas-pasan.
Demikian
dirasakan seorang wali murid, Salahuddin kepada Salaja Kampo. Dia terpaksa menggadaikan
barang berharga untuk menutupi biaya pendaftaran ulang tersebut. Di sekolah
tersebut, biaya yang diperlukan untuk membayar biaya administrasi saja mencapai
Rp.680 ribu.
“Biaya
tersebut untuk membayar atribut sekolah sebanyak Rp.240 ribu, uang titipan
komite R.p240 ribu. Dan yang mengherankan, adanya biaya peningkatan mutu sebesar
Rp.200 ribu,” sebutnya.
Menurut dia,
sekolah saat ini bebas dari biaya apapun, alias gratis. Namun, kata dia, masih
saja ditemukan adanya pungutan uang ini dan itu dari para siswa. “Salah
satunya, pungutan dana peningkatan mutu sekolah. Padahal biaya itu sudah ada di
dana BOS,” ujarnya.
Lebih lanjut
dia menyoroti pelaksanaan proyek
revitalisasi di sekolah tersebut. Katanya, pembangunan lantai dua sekolah
tersebut merupakan proyek peningkatan mutu sekolah. Selain itu, anggaran yang
dikucurkan pemerintah pun tidak sedikit, yakni lebih dari 2 Miliar rupiah. “Kok
kenapa harus ada lagi dana peningkatan mutu sekolah,” herannya.
Dikatakannya,
pungutan di SMA ini, dianggap sah-sah saja. Terbukti, pungutan tersebut tidak
pernah mendapat protes dari orangtua siswa maupun dinas terkait.
“Dikpora seolah
tutup mata dengan pungutan ini. Bahkan mungkin tidak tahu kalau sekolah ini
menerapkan pungutan yang cukup merepokan kami,” sesalnya.
Menurutnya,
pungutan dana peningkatan mutu pendidikan haruslah sejalan dengan prestasi sekolah.
Kondisi tersebut, berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah lain yang lebih
maju tanpa harus menarik dana ini dan itu.
“SMA Negeri
1 Madapangga misalnya. Sekolah yang memiliki segudang prestasi itu tidak
menunjukkan adanya pungutan seperti di SMA 1 Woha. Apalagi adanya pungutan dengan
alasan peningkatan mutu,” sorotnya.
Dia menilai pihak
sekolah terlalu serakah dengan mengeluarkan kebijakan tersebut. Penarikan uang
peningkatan mutu dianggap salah sasaran. Menurut dia, realisasi dari uang
tersebut belum diketahui akan dikemanakan.
“Penggunaan
biaya peningkatan mutu itu belum diketahui pasti akan diarahkan kemana oleh
sekolah. Kita hanya mengikuti dan menyetor saja sejumlah uang itu,” katanya.
Sementara
itu, Pelaksana tugas (Plt) SMA Negeri 1 Woha, Muhammad S.Pd yang coba ditemui di
ruangannya menolak diwawancara. Pelaksana tugas kepala sekolah ini tidak mau
diganggu oleh wartawan. “Saya nggak punya waktu, langsung saja hubungi humas,”
ujarnya singkat, Senin (7/7).
Humas SMA 1
Woha, Yusuf S.E yang dikonfirmasi membenarkan adanya penarikan dana tersebut.
Kata dia, uang itu untuk pembelian meblair sebanyak 6 ruang kelas yang baru
dibangun. “Karena ada 6 kelas yang tidak memiliki meblair, sehingga nanti kita
arahkan ke sana,” jelasnya.
Disinggung
mengenai anggaran Rp. 2 M untuk revitalisasi peningkatan mutu terhadap 6 ruang
kelas tersebut, Yusuf mengaku tidak tahu menahu. “MoU-nya yang tahu persis
adalah pelaksana proyek, saya kurang faham soal itu. Kita hanya menjalankan
kebijakan kasek,” tutupnya.(SK.Edo)
0 komentar:
Posting Komentar