Ilustrasi |
KM. Salaja Kampo---Bukan hal baru lagi bagi warga Bima bila mendengar kata “Blokir
Jalan”. Iya, dua kata tersebut kini semakin melekat pada diri dan jiwa warga Mbojo.
Bahkan, aksi blokir ruas jalan ini sudah menjadi trend dalam menyelesaikan
sebuah persoalan di masyarakat. Berikut catatannya bersama Edo Salaja Kampo.
Kebebasan berdemokrasi bangsa ini
mulai memasuki babak baru sejak reformasi pecah tahun 1998. Setiap warga nampak
lega bisa bersuara menyampaikan opini, gagasan, ide, bahkan ketidaksetujuannya pada
pemerintah. Proses kebebasan bersuara ini diyakini sebagai sebuah langkah besar
membangun negara yang berdaulat.
Menyuarakan pendapat yang resmi harusnya melewati jalur
partai politik. Namun, hal itu kini dirasakan ada hambatannya, sehingga rakyat
memilih untuk bersuara lantang di tengah jalan. Rakyat makin tidak percaya
dengan kanal penyampaian pendapat yang disediakan Negara melalui parpol
tersebut.
Suara rakyat kini nampaknya cuma dianggap suara-suara
“nyamuk” yang cukup diizinkan melakukan demonstrasi pada tempat yang sudah
dijaga oleh aparat. Cara “resmi” ini mulai dirasakan oleh rakyat sebagai cara
mandul, bagai berteriak di dalam kolam keruh.
Kemudian, entah kapan awal mulanya rakyat menemukan cara lain
untuk berdemonstrasi. Yaitu dengan memblokir jalan. Cara ini dianggap jitu dan efektif
untuk mencari perhatian pemerintah.
Memblokir jalan sudah barang tentu akan merepotkan pengguna
jalan. Terlebih lagi jika memblokir jalan poros provinsi. Ya, memblokir jalan provinsi
pun sudah menjadi trend para demonstran saat ini. Lebih radikal lagi, yang
diblokade adalah jalan utama penghubung antar provinsi.
Akan tetapi benarkan cara memblokir dan memblokade jalan itu
adalah acara jitu untuk mencari perhatian pemerintah? Jawabnya pasti benar.
Pasalnya, kecenderungan warga Bima untuk melakukan aksi blokir jalan karena
dianggap lebih cepat direspon pemerintah.
Sebut saja, perbaikan jalan Tente-Talabiu dan Tente-Monta.
Karena aksi blokir jalan ini, jalan tersebut kini sudah dihotmik. Yang baru-baru
ini adalah pemblokiran jalan Cenggu-Nisa menuntut pembangunan jembatan di
perbatasan kedua desa.
Lagi-lagi tuntutan tersebut langsung direspon kurang dari
2x24 jam. Padahal, sebelumnya, warga setempat sudah memasukan proposal untuk
proyek itu sebanyak tiga kali. Namun, tidak pernah dihiraukan oleh pemerintah.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan wilayah di Kecamatan
Belo Utara. Seperti Desa Cenggu, Runggu, Roka dan Roi. Jalan di desa tersebut
sudah mengalami kerusakan yang cukup parah. Lantaran tidak ada reaksi warga setempat,
sehingga jalan tersebut dibiarkan begitu saja oleh pemerintah.
Aktivis lingkungan, Subagio menuturkan, pemerintah tidak
segitu peduli dengan rakyatnya. Menurut dia, perhatian pemerintah pada rakyat
hanya normatif saja.
Melihat kondisi tersebut, kata dia, memicu adanya upaya
demonstrasi dengan memblokir jalan. Pria yang kerap melakukan aksi blokir jalan
ini, menilai aksi blokir jalan sangat pas. Karena akan mengambil perhatian
pemerintah apalagi sampai tergugah.
“Selama ini, yang pemerintah lakukan hanyalah mengirimkan
aparat untuk mengamankan jalannya demonstrasi. Namun tidak pernah langsung
merespon apa yang enjadi tuntutan warga,” ujar anggota HMI Komisariat STKIP
Tamsis ini.
Meski begitu dia juga menyadari bahwa dengan memblokir jalan hanya
akan menyandera rakyat lain. Rakyat lain yang ingin tetap bekerja dan melakukan
aktivitas terpaksa terganggu dan terhenti.
“Kami akui tindakan ini malah menghilangkan sikap dukungan rakyat
terhadap pro demonstran. Rakyat non-demonstran malah menyayangkan, kesal,
mengumpat, dan marah atas sikap kami. Tapi itulah konsekuensi yang harus kita
lakukan demi terealisasinya pembangunan di Bima,” tutupnya. (SK.Edo)
0 komentar:
Posting Komentar