Jumat, 11 Juli 2014


Ilustrasi
KM. Salaja Kampo---Bukan hal baru lagi bagi warga Bima bila mendengar kata “Blokir Jalan”. Iya, dua kata tersebut kini semakin melekat pada diri dan jiwa warga Mbojo. Bahkan, aksi blokir ruas jalan ini sudah menjadi trend dalam menyelesaikan sebuah persoalan di masyarakat. Berikut catatannya bersama Edo Salaja Kampo.

Kebebasan berdemokrasi bangsa ini mulai memasuki babak baru sejak reformasi pecah tahun 1998. Setiap warga nampak lega bisa bersuara menyampaikan opini, gagasan, ide, bahkan ketidaksetujuannya pada pemerintah. Proses kebebasan bersuara ini diyakini sebagai sebuah langkah besar membangun negara yang berdaulat.
 
Menyuarakan pendapat yang resmi harusnya melewati jalur partai politik. Namun, hal itu kini dirasakan ada hambatannya, sehingga rakyat memilih untuk bersuara lantang di tengah jalan. Rakyat makin tidak percaya dengan kanal penyampaian pendapat yang disediakan Negara melalui parpol tersebut. 
 
Suara rakyat kini nampaknya cuma dianggap suara-suara “nyamuk” yang cukup diizinkan melakukan demonstrasi pada tempat yang sudah dijaga oleh aparat. Cara “resmi” ini mulai dirasakan oleh rakyat sebagai cara mandul, bagai berteriak di dalam kolam keruh. 
 
Kemudian, entah kapan awal mulanya rakyat menemukan cara lain untuk berdemonstrasi. Yaitu dengan memblokir jalan. Cara ini dianggap jitu dan efektif untuk mencari perhatian pemerintah.
 
Memblokir jalan sudah barang tentu akan merepotkan pengguna jalan. Terlebih lagi jika memblokir jalan poros provinsi. Ya, memblokir jalan provinsi pun sudah menjadi trend para demonstran saat ini. Lebih radikal lagi, yang diblokade adalah jalan utama penghubung antar provinsi.
 
Akan tetapi benarkan cara memblokir dan memblokade jalan itu adalah acara jitu untuk mencari perhatian pemerintah? Jawabnya pasti benar. Pasalnya, kecenderungan warga Bima untuk melakukan aksi blokir jalan karena dianggap lebih cepat direspon pemerintah. 
 
Sebut saja, perbaikan jalan Tente-Talabiu dan Tente-Monta. Karena aksi blokir jalan ini, jalan tersebut kini sudah dihotmik. Yang baru-baru ini adalah pemblokiran jalan Cenggu-Nisa menuntut pembangunan jembatan di perbatasan kedua desa. 
 
Lagi-lagi tuntutan tersebut langsung direspon kurang dari 2x24 jam. Padahal, sebelumnya, warga setempat sudah memasukan proposal untuk proyek itu sebanyak tiga kali. Namun, tidak pernah dihiraukan oleh pemerintah.
 
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan wilayah di Kecamatan Belo Utara. Seperti Desa Cenggu, Runggu, Roka dan Roi. Jalan di desa tersebut sudah mengalami kerusakan yang cukup parah. Lantaran tidak ada reaksi warga setempat, sehingga jalan tersebut dibiarkan begitu saja oleh pemerintah.  
 
Aktivis lingkungan, Subagio menuturkan, pemerintah tidak segitu peduli dengan rakyatnya. Menurut dia, perhatian pemerintah pada rakyat hanya normatif saja. 
 
Melihat kondisi tersebut, kata dia, memicu adanya upaya demonstrasi dengan memblokir jalan. Pria yang kerap melakukan aksi blokir jalan ini, menilai aksi blokir jalan sangat pas. Karena akan mengambil perhatian pemerintah apalagi sampai tergugah. 
 
“Selama ini, yang pemerintah lakukan hanyalah mengirimkan aparat untuk mengamankan jalannya demonstrasi. Namun tidak pernah langsung merespon apa yang enjadi tuntutan warga,” ujar anggota HMI Komisariat STKIP Tamsis ini.
 
Meski begitu dia juga menyadari bahwa dengan memblokir jalan hanya akan menyandera rakyat lain. Rakyat lain yang ingin tetap bekerja dan melakukan aktivitas terpaksa terganggu dan terhenti. 
 
“Kami akui tindakan ini malah menghilangkan sikap dukungan rakyat terhadap pro demonstran. Rakyat non-demonstran malah menyayangkan, kesal, mengumpat, dan marah atas sikap kami. Tapi itulah konsekuensi yang harus kita lakukan demi terealisasinya pembangunan di Bima,” tutupnya. (SK.Edo)

0 komentar:

Posting Komentar