Ilustrasi |
KM. Salaja Kampo--Warga Bima menyambut hari Lebaran
dengan membakar “Ilo Obo” atau obor. Warga percaya bahwa dengan membakar Ilo Obo
sebagai bentuk sambutan selamat datang untuk roh para leluhur yang datang ke
rumahnya. Bahkan, kedatangan arwah tersebut dipercaya akan membawa berkah saat Lebaran
keesokan harinya. Uraian selengkapnya bersama Edho Salaja Kampo.
Perayaan Hari Raya Idul Fitri atau
hari Lebaran pasti identik dengan bersalam-salaman dan bermaaf-maafan. Namun di
beberapa daerah suasana perayaan hari Lebaran terkesan unik dan seru. Seperti
halnya di Desa Runggu Kecamatan Belo Kabupaten Bima.
Setiap memasuki akhir Ramadhan, warga setempat selalu
menggelar kegiatan pawai keliling kampung dengan membawa Ilo Obo. Selain Ilo Obo,
warga juga melakukan takbir keliling dengan membawa bedug yang diarak keliling
desa.
Usai berjalan keliling dengan Ilo Obo, warga kemudian
memasang obor tersebut di depan halaman rumah masing-masing. Mereka percaya,
sehari sebelum lebaran, arwah para leluhur akan berdatangan di malam takbiran
tersebut. Untuk itu, warga menyimpan Ilo Obo agar menerangi roh leluhur yang
menghampiri.
Kegiatan berjalan keliling kampung dengan membawa Ilo Obo
ini banyak digemari oleh anak-anak dan muda-mudi. Sementara orang tua, baik
tokoh masyarakat maupun tokoh agama bertindak sebagai pemimpin yang mengarahkan
peserta pawai.
Para tetua dan pemuka agama ini tidak lupa menyanyikan
lagu-lagu yang bernapaskan Islam sambil memukul bedug dan pentungan. Biasanya,
kegiatan ini dilakukan usai sholat Isya dimulai dari ujung Desa hingga balik
lagi ke masjid.
"Tujuan diadakan pawai Ilo Obo menjelang lebaran ini
sebagai tasyakuran di bulan ramadhan. Selain itu untuk memberi penerangan bagi
roh para leluhur yang konon akan datang di malam itu,” kata tokoh Agama Desa
Runggu, Ahmad Abdullah.
Menurut guru ngaji ini, tradisi tersebut sudah ada sejak
zaman penjajahan Belanda. Kakek berusia 80 tahun ini mengaku, kegiatan Ilo Obo
sudah jarang dilakukan oleh warga Bima selama beberapa tahun terakhir. Meski
begitu, kata dia, warga setempat tetap mempertahankan tradisi tersebut dan
mengenalkannya ke anak cucu.
“Sudah jarang dilakukan kalau tradisi ini, sangat beda
semasa kami muda dulu. Karena jika kegiatan ini (Pembakaran Obor) tidak dilakukan,
para leluhur kita akan marah dan kecewa,” terangnya.
Kakek yang juga sebagai muadzin di Masjid Desa Runggu ini
berharap masyarakat bisa mempertahankan tradisi tersebut. Kata dia, tradisi
tersebut merupakan identitas Bima yang dikenal secara nasional pada tahun 1940-an.
“Selain tari-tarian dan rimpu cili, pawai Ilo Obo menjelang lebaran
juga merupakan ciri khas warga Bima dan sempat terkenal pada zaman penjajahan,”
katanya. (SK.Edo)
0 komentar:
Posting Komentar