Kamis, 24 Juli 2014

Ilustrasi
KM. Salaja Kampo--Warga Bima menyambut hari Lebaran dengan membakar “Ilo Obo” atau obor. Warga percaya bahwa dengan membakar Ilo Obo sebagai bentuk sambutan selamat datang untuk roh para leluhur yang datang ke rumahnya. Bahkan, kedatangan arwah tersebut dipercaya akan membawa berkah saat Lebaran keesokan harinya. Uraian selengkapnya bersama Edho Salaja Kampo.
 
Perayaan Hari Raya Idul Fitri atau hari Lebaran pasti identik dengan bersalam-salaman dan bermaaf-maafan. Namun di beberapa daerah suasana perayaan hari Lebaran terkesan unik dan seru. Seperti halnya di Desa Runggu Kecamatan Belo Kabupaten Bima.
 
Setiap memasuki akhir Ramadhan, warga setempat selalu menggelar kegiatan pawai keliling kampung dengan membawa Ilo Obo. Selain Ilo Obo, warga juga melakukan takbir keliling dengan membawa bedug yang diarak keliling desa. 
 
Usai berjalan keliling dengan Ilo Obo, warga kemudian memasang obor tersebut di depan halaman rumah masing-masing. Mereka percaya, sehari sebelum lebaran, arwah para leluhur akan berdatangan di malam takbiran tersebut. Untuk itu, warga menyimpan Ilo Obo agar menerangi roh leluhur yang menghampiri.
 
Kegiatan berjalan keliling kampung dengan membawa Ilo Obo ini banyak digemari oleh anak-anak dan muda-mudi. Sementara orang tua, baik tokoh masyarakat maupun tokoh agama bertindak sebagai pemimpin yang mengarahkan peserta pawai. 
 
Para tetua dan pemuka agama ini tidak lupa menyanyikan lagu-lagu yang bernapaskan Islam sambil memukul bedug dan pentungan. Biasanya, kegiatan ini dilakukan usai sholat Isya dimulai dari ujung Desa hingga balik lagi ke masjid. 
 
"Tujuan diadakan pawai Ilo Obo menjelang lebaran ini sebagai tasyakuran di bulan ramadhan. Selain itu untuk memberi penerangan bagi roh para leluhur yang konon akan datang di malam itu,” kata tokoh Agama Desa Runggu, Ahmad Abdullah.
 
Menurut guru ngaji ini, tradisi tersebut sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Kakek berusia 80 tahun ini mengaku, kegiatan Ilo Obo sudah jarang dilakukan oleh warga Bima selama beberapa tahun terakhir. Meski begitu, kata dia, warga setempat tetap mempertahankan tradisi tersebut dan mengenalkannya ke anak cucu.
 
“Sudah jarang dilakukan kalau tradisi ini, sangat beda semasa kami muda dulu. Karena jika kegiatan ini (Pembakaran Obor) tidak dilakukan, para leluhur kita akan marah dan kecewa,” terangnya.
 
Kakek yang juga sebagai muadzin di Masjid Desa Runggu ini berharap masyarakat bisa mempertahankan tradisi tersebut. Kata dia, tradisi tersebut merupakan identitas Bima yang dikenal secara nasional pada tahun 1940-an. 
 
“Selain tari-tarian dan rimpu cili, pawai Ilo Obo menjelang lebaran juga merupakan ciri khas warga Bima dan sempat terkenal pada zaman penjajahan,” katanya. (SK.Edo)
 

0 komentar:

Posting Komentar