Warga sedang Menyantap Gandung Pengganti Nasi |
Sedikitnya empat desa
di kawasan pesisir pantai di Kecamatan Langgudu terpaksa mengonsumsi gandung. Empat
desa tersebut, antara lain, Desa Karampi, Sarae Ruma, Waduruka dan Desa Pusu. Kondisi
tersebut terjadi sejak tiga bulan belakangan ini karena terjadi gagal panen dan
kemarau yang berkepanjangan melanda daerah tersebut.
Dari keempat desa tersebut,
warga Desa Karampi lah yang tergolong paling parah untuk tingkat konsumsinya. Terlebih
di Dusun Nanga Ni’u, Soro Bali dan Mamba Na’e. Di tiga dusun tersebut, gandum malah
sudah menjadi makanan pokok warga. Mereka mengonsumsi gandung sebanyak tiga
kali sehari layaknya nasi.
Ironisnya, gandung yang
merupakan umbi-umbian tersebut mengandung zat beracun. Meski mengetahui makanan
tersebut beracun, namun warga tidak punya pilihan lain. Hal itu disebabkan
karena makanan pokok berupa nasi, semakin sulit diperoleh warga.
“Kondisi ini tidak
lain karena kemarau panjang. Sehingga para petani mengalami gagal panen,”
ungkap Subhan warga Desa Karampi.
Gandung atau yang
biasa disebut warga Bima “lede” ini, merupakan makanan khas Bima. Khususnya di
wilayah Karampi masih banyak ditemukan warga mengonsumsi makanan ini. Gandung biasanya
dimakan dengan kelapa yang diparut ditambah dengan ikan laut. Seiring desakan
kebutuhan hidup, makanan ini kini disulap menjadi makanan pokok pengganti
nasi oleh warga setempat.
Akibat mengonsumsi
gandung ini, tidak sedikit warga mengalami keracunan. Karena mengandung makanan
berbahaya, terkadang warga mengalami keracunan usai mengonsumsi makanan
tersebut.
Bahkan, data yang
dihimpun di Dusun Sorobali sendiri, terdapat lebih dari 20 orang yang keracunan
akibat mengonsumsi makanan ini. “Sisanya, ada juga warga yang mengalami pusing
dan mual seperti orang mabuk perjalanan,” kata pria 30 tahun ini.
Sementara itu, Kades Karampi,
Rifdun mengaku, kondisi tersebut sudah sering dirasakan warga setempat. Terlebih
umbi-umbian tersebut salah diracik atau hanya diramu sealakadarnya. Karena proses
pembuatan hingga bisa diolah menjadi makanan tersebut membutuhkan waktu yang
lama dan kelihaian.
“Seperti melakukan penjemuran
dan pencucian gandung, harus dilakukan minimal satu hari. Agar kadar racun yang
terdapat dalam gandung berkurang dan bahkan hilang,” ujarnya.
Dijelaskannya, usai menjemur
gadung yang sudah dikupas, kemudian dicuci selama berjam-jam di air laut. Setelah
itu dijemur selama berhari-hari dan barulah bisa dimasak. “Kalau tahapan
seperti itu sudah dilakukan, barulah bisa dimakan,” terangnya.
Warga berharap,
pemerintah segera membuka mata dan membantu mereka agar tidak terus-terusan
mengkonsumsi gandung. Warga sangat membutuhkan bantuan beras dan air bersih
untuk memenuhi kebutuhan mereka setiap harinya. (SK.Edo)
0 komentar:
Posting Komentar