Ilustrasi |
KM. Salaja Kampo---Hamzah, 42 tahun,
merupakan satu diantara penumpang kapal pencari ikan di perairan gunung
Sangiang. Sebelum meletus, kapal yang ditumpangi Hamzah besama 44 orang lainnya
masih beraktivitas di sekitar lokasi. Bagaimana Hamzah Bisa lolos dari kapal
tersebut? Berikut penuturannya.
Rusyadin KM. Salaja Kampo
Gunung
Sangiang di Kecamatan Wera Kabupaten Bima meletus Jum’at (30/5) lalu, sekitar
pukul 15.55 Wita. Letusan Gunung yang terletak di tengah laut tersebut membuat
warga desa yang bermukim tidak jauh dari lokasi panik. Tak terkecuali sejumlah
nelayan pencari ikan yang biasa mencari ikan di sekitar gunung tersebut.
Salah
satunya nelayan asal pulau Jawa. 44 penumpang kapal tersebut hingga kemarin
masih dinyatakan hilang pasca letusnya gunung Sangiang. Penumpang kapal yang didominasi
oleh nelayan ini, berencana untuk mencari ikan di perairan Sangiang sehari
sebelum meletus.
Para
penumpang kapal mengajak Hamzah yang merupakan warga Desa Sangiang untuk
menemani mereka mencari ikan di sekitar Sangiang. Saat itu, Hamzah pun
bertindak sebagai guide untuk menjelaskan sejarah Sangiang kepada 44 penumpang
kapal tersebut.
Setelah
berlayar selama sehari, Hamzah kemudian diminta agar keluar dari laut untuk
membeli makanan. Dengan perahu dayung, Hamzah pun keluar untuk mencari bekal
persiapan makanan. Namun, musibah letusnya gunung Sangiang terjadi setelah 30
menit Hamzah meninggalkan lokasi Sangiang.
“Saat
Sangiang
meletus saya masih berada di dalam laut menuju daratan untuk mencari
makanan. Ya sekitar 30 menitlah saya meninggalkan kapal dan 44
penumpang yang
saat itu tengah berada di radius 500 meter dari Sangiang,” urai Hamzah,
ditemui Salaja Kampo di Desa Sangiang Kecamatan Wera, Sabtu (31/5) lalu.
Sesampai di
daratan, komunikasi dengan para penumpang kapal yang masih berada di areal
Sangiang pun tiba-tiba terputus. Kondisi tersebut membuat Hamzah khawatir
dengan keselamatan sejumlah penumpang kapal yang baru dikenalnya.
“Goncangan
air laut saat itu sangat kencang, beruntung saya sudah mau menepi di daratan.
Seandainya masih di kapal, entah apa yang akan terjadi pada saya,” ratapnya.
Bapak dua
anak ini pun langsung bersujud mengucap syukur setelah sampai di daratan.
Seluruh badannya bergetar dan mulut pun tak kuasa berbicara. Dia membayangkan
jika dirinya masih berada di kapal tersebut bersama sejumlah penumpang lain. “Saya
schok,” katanya.
Menurut
Hamzah, sebelumnya tidak ada pemberitahuan dari instansi terkait tentang adanya
peningkatan status Sangiang. Meski begitu, dia mengaku mendapatkan firasat
buruk sebelum berangkat dengan nelayan asal Jawa tersebut.
“Sebelumnya
ada firasat dan tanda-tanda kalau Sangiang akan meletus. Karena ada kegempaan
selama dua hari berturut-turut. Tapi kan nggak ada pemberitahuan dari pemantau
gunung Sangiang, sehingga kami tidak terlalu khawatir,” ujarnya. (SK. Edo)
0 komentar:
Posting Komentar