Kamis, 12 Juni 2014

Ilustrasi
KM. Salaja Kampo---Hampir setiap hari seorang pria berjalan sambil mendorong gerobak besarnya. Perlahan dicermati, gerobak yang didorong itu rupanya berisi tumpukan sampah dan barang bekas. Dia adalah Krispinus, 25 tahun. Lelaki ini tak lelah mengumpulkan barang bekas demi menyambung hidup. Berikut kisah selengkapnya bersama Edo Salaja Kampo.

Setiap kali aku membersihkan halaman rumah sebelum berangkat kerja, aku selalu melihat Krispinus melewati pekarangan rumahku. Ternyata pria asal Sumba NTT ini sedang berusaha mencari rejeki di balik tumpukan sampah.
Tepatnya jam enam pagi, Krispinus sudah dengan sigap mengumpulkan barang-barang bekas yang ada di tempat sampah. Tak jarang ketika ada sampah botol plastik bekas minuman, selalu ku berikan kepadanya, walaupun hanya satu atau dua botol saja.
Namun, ada sesuatu yang beda selama beberapa hari ini. Sesuatu yang beda itu adalah, Krispinus tidak nampak lagi untuk mengumpulkan barang bekas tersebut. Penasaran, aku pun mencoba mencari keberadaan Krispinus kepada beberapa pengumpul barang bekas lain yang lebih muda darinya.
Saat Salaja Kampo menginjakan kaki di tempat penampungan para pengumpul barang bekas ini, sungguh menarik perhatian. Sebuah rumah panggung sederhana ukuran kecil dan berhalaman luas itu hampir dipenuhi dengan kesibukan orang hilir mudik merapikan barang-barang bekas.
Ada rasa senang dan haru setiap kali melihat kesibukan mereka bekerja dan bekerja sepanjang hari. Sepertinya urat lelah dan malas telah putus sedari lama. Diantara mereka yang tengah sibuk, satu diantaranya merupakan orang yang hendak saya jumpai. 
Kepada Salaja Kampo, Krispinus mengaku sudah tidak lagi mengambil barang bekas di wilayah tersebut. Hal itu disebabkan karena kebanyakan warga sudah meminta bayaran kepada Krispinus jika ingin mengambil barang-barang bekas.
“Kalau kardus-kardus, kami diminta untuk membayar sebanyak Rp. 1000 ke pemiliknya per satu kilogram. Sedangkang, kami harus menjual barang-barang itu dengan Rp. 1000 juga ke bos besar. Jadi kami memilih mencari barang bekas di tempat lain,” urainya.
Dijelaskan, sebelumnya Krispinus hanya membayar kardus ke pemiliknya sebanyak Rp. 800. Dari biaya tersebut, Krispinus hanya mendapatkan keuntungan Rp. 200 per kilonya. Keuntungan Rp. 200 itu dianggap cukup untuk bisa menyambung hidup dengan keluarganya. Bahkan, bila ada rejeki, bapak dua anak ini juga mengirimkan ke orang tuanya di Sumba.  
“Sudah 7 tahun di Bima sebagai pengumpul barang bekas. Keuntungan Rp. 200 itu cukup kok untuk bisa bertahan hidup saat ini. Karena dua anak saya masih berumur 3 tahun dan satunya lagi baru 5 bulan,” kata Krispinus, sambil menimbang kardus yang dikumpulkannya.
Suami dari Dorci ini memilih pekerjaan itu lantaran tidak ada kerjaan lain yang bisa dilakukan di Bima. Sebelumnya, ia sempat menjadi kuli bangunan, namun kondisi tersebut dianggap rugi bila dibandingkan dengan kerjaannya saat ini.
“Kalau jadi kuli bangunan, kita telat dikasih gajinya mas. Pengalaman saya selama ini, gaji itu akan habis untuk ongkos pulang-pergi kerja saja. Karena kami tidak punya tempat tinggal di sini,” ujarnya. (SK.Edo)

0 komentar:

Posting Komentar