Ilustrasi |
Setiap kali aku
membersihkan halaman rumah sebelum berangkat kerja, aku selalu melihat Krispinus
melewati pekarangan rumahku. Ternyata pria asal Sumba NTT ini sedang berusaha
mencari rejeki di balik tumpukan sampah.
Tepatnya jam enam
pagi, Krispinus sudah dengan sigap mengumpulkan barang-barang bekas yang ada di
tempat sampah. Tak jarang ketika ada sampah botol plastik bekas minuman, selalu
ku berikan kepadanya, walaupun hanya satu atau dua botol saja.
Namun, ada sesuatu
yang beda selama beberapa hari ini. Sesuatu yang beda itu adalah, Krispinus
tidak nampak lagi untuk mengumpulkan barang bekas tersebut. Penasaran, aku pun mencoba
mencari keberadaan Krispinus kepada beberapa pengumpul barang bekas lain yang
lebih muda darinya.
Saat Salaja Kampo menginjakan kaki di tempat penampungan para pengumpul barang bekas ini,
sungguh menarik perhatian. Sebuah rumah panggung sederhana ukuran kecil dan berhalaman luas itu
hampir dipenuhi dengan kesibukan orang hilir mudik merapikan barang-barang
bekas.
Ada rasa senang dan haru setiap kali melihat kesibukan mereka
bekerja dan bekerja sepanjang hari. Sepertinya urat lelah dan malas telah putus
sedari lama. Diantara mereka yang tengah sibuk, satu diantaranya merupakan
orang yang hendak saya jumpai.
Kepada Salaja Kampo, Krispinus mengaku sudah tidak lagi
mengambil barang bekas di wilayah tersebut. Hal itu disebabkan karena kebanyakan
warga sudah meminta bayaran kepada Krispinus jika ingin mengambil barang-barang
bekas.
“Kalau kardus-kardus, kami diminta untuk membayar sebanyak Rp.
1000 ke pemiliknya per satu kilogram. Sedangkang, kami harus menjual
barang-barang itu dengan Rp. 1000 juga ke bos besar. Jadi kami memilih mencari
barang bekas di tempat lain,” urainya.
Dijelaskan, sebelumnya Krispinus hanya membayar kardus ke pemiliknya
sebanyak Rp. 800. Dari biaya tersebut, Krispinus hanya mendapatkan keuntungan Rp.
200 per kilonya. Keuntungan Rp. 200 itu dianggap cukup untuk bisa menyambung
hidup dengan keluarganya. Bahkan, bila ada rejeki, bapak dua anak ini juga
mengirimkan ke orang tuanya di Sumba.
“Sudah 7 tahun di Bima sebagai pengumpul barang bekas.
Keuntungan Rp. 200 itu cukup kok untuk bisa bertahan hidup saat ini. Karena dua
anak saya masih berumur 3 tahun dan satunya lagi baru 5 bulan,” kata Krispinus,
sambil menimbang kardus yang dikumpulkannya.
Suami dari Dorci ini memilih pekerjaan itu lantaran tidak ada
kerjaan lain yang bisa dilakukan di Bima. Sebelumnya, ia sempat menjadi kuli
bangunan, namun kondisi tersebut dianggap rugi bila dibandingkan dengan
kerjaannya saat ini.
“Kalau jadi kuli bangunan, kita telat dikasih gajinya mas. Pengalaman
saya selama ini, gaji itu akan habis untuk ongkos pulang-pergi kerja saja. Karena
kami tidak punya tempat tinggal di sini,” ujarnya. (SK.Edo)
0 komentar:
Posting Komentar