Senin, 13 Januari 2014


Rimpu, Budaya 'Kandung' Yang Telah 'Ditirikan'
(Tenunan Bima Dalam Inovasi Kekinian)
Oleh : Taufikkurrahman


Perempuan Bima dalam Balutan Rimpu dengan BeragamCorak

Sekilas Tentang Budaya Rimpu

Banyak aspek yang melatar-belakangi lahirnya budaya berpakaian suatu daerah di wilayah Nusantara ini. Yang kemudian budaya berpakaian tersebut disematkan sebagai Pakaian Adat. Ada kalanya aspek normatif, seperti agama dan adat istiadat yang berlaku dan berkembang di masyarakat. Ada kalanya aspek geografis seperti cuaca, lingkungan pemukiman, dan kondisi alam. Ada kalanya pula aspek ekonomi, seperti tingkat pendapatan dan jenis mata pencaharian masyarakatnya.

Semua aspek di atas, antara satu dan lainnya saling berkaitan, bahkan terkadang berperan bersama-sama dalam membentuk langgam, corak, dan warna Pakaian adat suatu daerah. Bima, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebhinekaan nusantara, juga memiliki pakaian adat yang khas. Mulai dari Pakaian Adat Kebangsawanan sampai untuk kalangan awam.

Di kalangan awam masyarakat Bima, ada suatu bentuk budaya berpakaian yang kerapkali dikenakan oleh para remaja putri dan ibu-ibu pada berbagai acara ataupun dalam keseharian mereka. Budaya ini dikenal dengan Budaya Rimpu yang merupakan cara berpakaian untuk Muslimah Mbojo. 

Rimpu itu sendiri adalah sejenis sarung tenunan Bima yang dikenal dengan nama Tembe Nggoli. Biasanya dililitkan di bagian kepala hingga membentuk bundaran yang rapi. Dalam penggunaanya, Rimpu ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Rimpu Colo dan Rimpu Mpida.

Rimpu Mpida digunakan oleh para gadis yang cara pemakaiannya adalah dengan melilitkan Tembe Nggoli di kepala dengan hanya menampakan bagian mata saja. Sedangkan Rimpu Colo digunakan oleh kalangan ibu-ibu dengan lilitan yang menyisakan bagian wajah saja yang terbuka.

Selain itu, Budaya rimpu biasanya dirangakaian juga dengan rangkaian Tembe Nggoli lain yang dililitkan di bagian pinggang (dalam bahasa Bima dikenal dengan ‘Sanggentu’) yang terurai sampai ke bagian tumit sebagai pengganti rok. Budaya Rimpu dan Tembe Nggoli ini boleh dibilang seperti halnya “Romeo dan Juliet”. Keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Rimpu adalah Tembe Nggoli dan begitu sebaliknya,

Syiar Islam di Bima dan Budaya Rimpu

Di Indonesia pra hadirnya penjajahan Belanda, di beberapa bagian wilayahnya menjadi pusat perkembangan agama Islam seperti Sumatera dengan Kesultanan Samudra Pasai, Kesultanan Demak di wilayah Jawa, Kesultanan Ternate dan Sulawesi Selatan di Bagian Timur di tambah lagi dengan wilayah Kalimantan dengan Kesultanan Banjar.

Masyarakat Bima yang pada waktu itu masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme (Bahasa Bima : Parafu ra Pamboro) sejak abad ke- 16 secara bertahap mulai didatangi oleh para mubalig dan pedagang yang berasal dari berbagai wilayah Kesultanan Islam, sebut saja Jawa, Ternate, dan Sulawesi Selatan.

Kedatangan mereka ini selain untuk berdagang juga untuk syiar Agama Islam. Dengan berbagai tantangan yang ada, proses syiar Islam di Bima terus mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sejak 5 Juli 1640 M wilayah Bima resmi menjadi Kesultanan Islam dengan Abdul Khair dinobatkan sebagai Sultan Bima yang berdasarkan syariat islam dan adat. Semenjak itulah masyarakat Bima berbondong-bondong memeluk Islam.

Sejalan dengan masuknya Islam di Bima, maka Kebudayaan Islam dengan coraknya mewarnai seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, itulah konsekuensi yang harus dijalankan. Salah satu bagian yang menjadi konsekuensinya adalah menerapkan syariat islam dalam hal berpakaian untuk laki-laki maupun perempuan.

Dalam perspektif syariat islam, berpakaian harus mempertimbangkan segi Aurat. Yaitu, tidak boleh memeperlihatkan bagian tertentu dari tubuh. Syariat islam inilah yang menjadi dasar penerapan Rimpu oleh para perempuan di Bima. Sehingga Budaya Rimpu awalnya hadir sebagai identitas keagamamaan yang lama kelamaan menjadi bagian dari Budaya Bima.

Hal menarik yang dapat dikaitkan melalui tulisan ini adalah, Budaya Rimpu di Bima berbanding lurus dengan hadirnya Islam di Bima, yang justru disyiarkan oleh mubaliq yang berasal dari luar Bima. Akan tetapi, Budaya Rimpu tidak pernah akan kita temui di daerah lain, apalagi di daerah yang menjadi asal para mubaliq tersebut.

Dengan landasan keterkaitan seperti itu, maka dapat disimpulkan secara utuh, bahwa budaya Rimpu merupakan budaya 'Kandung' hasil dari kreatifitas murni masyarakat Bima. Artinya, budaya Rimpu adalah budaya yang tidak terkontaminasi oleh pengaruh akulturasi Budaya Daerah lain. Sehingga dapat dikatakan, Budaya Rimpu untuk orang Bima, sama halnya dengan masyarakat Jawa dengan Budaya Blangkon-nya.

Rimpu, Hijab Ala Mbojo Yang Tergerus Modernisasi

Derasnya terjangan arus globalisasi menjadi faktor utama yang menyebabkan membiasnya rasa kecintaan masyarakat terhadap Budaya Rimpu, khususnya di kalangan perempuan. Rimpu pada saat ini oleh sebagian besar perempuan Bima sudah dianggap sebagai busana kampungan.

Alasan mereka, Rimpu merupakan busana yang stagnan (begitu-begitu saja) dan tidak sepraktis memakai jilbab seperti yang ada sekarang dengan pilihan corak dan jenis yang beraneka ragam. Seperti itulah alasan yang menjadikan para perempuan Bima pada umumnya tidak lagi mengenakan Rimpu.

Budaya Rimpu sekarang jarang sekali kita temui dalam keseharian kaum perempuan Bima khususnya kalangan remajanya. Rimpu sudah berganti dengan jilbab, Rimpu kalah bersaing dengan kreasi hijab kontemporer yang menawarkan bebagai macam pola berbusana hijab yang lebih menarik daripada Rimpu. Begitulah budaya Rimpu kini, budaya yang mestinya menjadi ikon budaya justru sekarang sudah 'ditirikan' di tanah kelahirannya sendiri.

Rimpu dan Corak Tenunan Bima Dengan Inovasi Kekinian

Rimpu dan Tembe Nggoli seperti yang telah diuraikan di atas merupakan 'dua sejoli' yang tidak mungkin dipisahkan. Untuk tampil dengan busana Rimpu mesti dengan Tembe Nggoli, seperti itulah yang dilakukan oleh perempuan Bima tempo dulu. Tembe Nggoli adalah sarung hasil tenunan yang memiliki ornamen atau motif tenunan yang cukup beragam. Sehingga Tembe Nggoli dengan motif-motifnya tersebut memiliki kekhasan yang mampu memberikan keidentikan tersendiri untuk mencirikan daerah Bima.

Tenunan Bima selain dipergunakan untuk sarung (Tembe Nggoli) juga digunakan sebagai bahan untuk dibuatkan baju. Saat ini sebagai upaya untuk terus melestarikan tenunan Bima, Pemerintah Kabupaten Bima mewajibkan kepada seluruh jajaran pegawainya untuk mengenakan seragam tenunan Bima selama jam kerja di Hari Kamis.

Selain itu, ada upaya lain yang perlu kita telaah lebih jauh sebagai wacana kreatifitas untuk melestarikan Tenunan Bima beserta budaya Rimpu ini. Dengan mensubstitusikan corak dan motif tenunan Bima ke dalam tampilan hijab kontemporer. Artinya, nanti akan ada model jilbab yang dihiasi dengan ornamen-ornamen seperti yang ada di tenunan Bima sekarang. Akan tetapi terkait dengan jenis bahan yang digunakan akan tetap mengikuti kebutuhan sekarang, karena dari beberapa sumber mengatakan jika tenunan Bima dijadikan jilbab akan dirasa berat di bagian kepala sehingga membuat tidak nyaman.

Di sisi lain dapat kita ketahui bersama lewat media dan bahkan dapat kita amati langsung di sekitar kita, bahwa cara dan bentuk pemakaian jilbab jenisnya beraneka ragam. Hal inipun dapat kita subtitusikan ke dalam model pemakaian jilbab yang mirip dengan bentuk pakaian Rimpu. Sehingga nantinya akan ada jilbab dengan ornamen tenunan Bima dan cara pemakainnyapun mirip dan bahkan seperti Rimpu yang semestinya. Hal ini cukup menarik untuk kita pertimbangkan bersama dalam mendorong naluri kreatifitas kita.

Derasnya arus perputaran jaman yang seperti sulit untuk kita bendung sebanding dengan perubahan yang kita alami sekarang. Budaya Rimpu akan menjadi sejarah yang mungkin akan dilupakan oleh generasi yang akan datang. Upaya inovasi seperti yang diuraikakan di atas adalah bagian dari upaya untuk menyelamatkan budaya Rimpu dan tenunan Bima walaupun tidak secara menyeluruh.

Meski demikian dengan upaya seperti ini nantinya diharapakan mampu mengurai sejarah kepada anak -cucu kita, bahwa inovasi ini bersumber adanya budaya Rimpu dan tenunan Bima. Sehingga pengetahuan tentang sejarah Rimpu dan tenunan Bima akan terus bisa kita riwayatkan secara estafet ke depannya sampai waktu yang tak terbatas.

*Penulis : adalah Motivator Kampung Media Mandiri ‘Salaja Kampo’


0 komentar:

Posting Komentar