Rimpu, Budaya 'Kandung' Yang Telah
'Ditirikan'
(Tenunan Bima Dalam Inovasi Kekinian)
(Tenunan Bima Dalam Inovasi Kekinian)
Oleh : Taufikkurrahman
Perempuan Bima dalam Balutan Rimpu dengan BeragamCorak |
Sekilas Tentang Budaya Rimpu
Banyak aspek yang melatar-belakangi
lahirnya budaya berpakaian suatu daerah di wilayah Nusantara ini.
Yang kemudian budaya berpakaian tersebut disematkan sebagai Pakaian
Adat. Ada kalanya aspek normatif, seperti agama dan adat istiadat
yang berlaku dan berkembang di masyarakat. Ada kalanya aspek
geografis seperti cuaca, lingkungan pemukiman, dan kondisi alam. Ada
kalanya pula aspek ekonomi, seperti tingkat pendapatan dan jenis mata
pencaharian masyarakatnya.
Semua aspek di atas, antara satu dan
lainnya saling berkaitan, bahkan terkadang berperan bersama-sama
dalam membentuk langgam, corak, dan warna Pakaian adat suatu daerah.
Bima, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebhinekaan nusantara,
juga memiliki pakaian adat yang khas. Mulai dari Pakaian Adat
Kebangsawanan sampai untuk kalangan awam.
Di kalangan awam masyarakat Bima, ada suatu bentuk budaya berpakaian yang kerapkali dikenakan
oleh para remaja putri dan ibu-ibu pada berbagai acara ataupun dalam
keseharian mereka. Budaya ini dikenal dengan Budaya Rimpu yang
merupakan cara berpakaian untuk Muslimah Mbojo.
Rimpu itu sendiri adalah sejenis sarung
tenunan Bima yang dikenal dengan nama Tembe Nggoli. Biasanya
dililitkan di bagian kepala hingga membentuk bundaran yang rapi.
Dalam penggunaanya, Rimpu ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
Rimpu Colo dan Rimpu Mpida.
Rimpu Mpida digunakan oleh para gadis
yang cara pemakaiannya adalah dengan melilitkan Tembe Nggoli di
kepala dengan hanya menampakan bagian mata saja. Sedangkan Rimpu Colo
digunakan oleh kalangan ibu-ibu dengan lilitan yang menyisakan bagian
wajah saja yang terbuka.
Selain itu, Budaya rimpu biasanya
dirangakaian juga dengan rangkaian Tembe Nggoli lain yang dililitkan
di bagian pinggang (dalam bahasa Bima dikenal dengan ‘Sanggentu’)
yang terurai sampai ke bagian tumit sebagai pengganti rok. Budaya
Rimpu dan Tembe Nggoli ini boleh dibilang seperti halnya “Romeo dan
Juliet”. Keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Rimpu adalah Tembe Nggoli dan begitu sebaliknya,
Syiar Islam di Bima dan Budaya Rimpu
Di Indonesia pra hadirnya penjajahan
Belanda, di beberapa bagian wilayahnya menjadi pusat perkembangan
agama Islam seperti Sumatera dengan Kesultanan Samudra Pasai,
Kesultanan Demak di wilayah Jawa, Kesultanan Ternate dan Sulawesi
Selatan di Bagian Timur di tambah lagi dengan wilayah Kalimantan
dengan Kesultanan Banjar.
Masyarakat Bima yang pada waktu itu
masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme (Bahasa Bima :
Parafu ra Pamboro) sejak abad ke- 16 secara bertahap mulai didatangi
oleh para mubalig dan pedagang yang berasal dari berbagai wilayah
Kesultanan Islam, sebut saja Jawa, Ternate, dan Sulawesi Selatan.
Kedatangan mereka ini selain untuk
berdagang juga untuk syiar Agama Islam. Dengan berbagai tantangan
yang ada, proses syiar Islam di Bima terus mengalami perkembangan
yang cukup pesat. Sejak 5 Juli 1640 M wilayah Bima resmi menjadi
Kesultanan Islam dengan Abdul Khair dinobatkan sebagai Sultan Bima
yang berdasarkan syariat islam dan adat. Semenjak itulah masyarakat
Bima berbondong-bondong memeluk Islam.
Sejalan dengan masuknya Islam di Bima,
maka Kebudayaan Islam dengan coraknya mewarnai seluruh sendi-sendi
kehidupan masyarakat, itulah konsekuensi yang harus dijalankan. Salah
satu bagian yang menjadi konsekuensinya adalah menerapkan syariat
islam dalam hal berpakaian untuk laki-laki maupun perempuan.
Dalam perspektif syariat islam,
berpakaian harus mempertimbangkan segi Aurat. Yaitu, tidak boleh
memeperlihatkan bagian tertentu dari tubuh. Syariat islam inilah yang
menjadi dasar penerapan Rimpu oleh para perempuan di Bima. Sehingga
Budaya Rimpu awalnya hadir sebagai identitas keagamamaan yang lama
kelamaan menjadi bagian dari Budaya Bima.
Hal menarik yang dapat dikaitkan
melalui tulisan ini adalah, Budaya Rimpu di Bima berbanding lurus
dengan hadirnya Islam di Bima, yang justru disyiarkan oleh mubaliq
yang berasal dari luar Bima. Akan tetapi, Budaya Rimpu tidak pernah
akan kita temui di daerah lain, apalagi di daerah yang menjadi asal
para mubaliq tersebut.
Dengan landasan keterkaitan seperti
itu, maka dapat disimpulkan secara utuh, bahwa budaya Rimpu merupakan
budaya 'Kandung' hasil dari kreatifitas murni masyarakat Bima.
Artinya, budaya Rimpu adalah budaya yang tidak terkontaminasi oleh
pengaruh akulturasi Budaya Daerah lain. Sehingga dapat dikatakan,
Budaya Rimpu untuk orang Bima, sama halnya dengan masyarakat Jawa
dengan Budaya Blangkon-nya.
Rimpu, Hijab Ala Mbojo Yang Tergerus
Modernisasi
Derasnya terjangan arus globalisasi
menjadi faktor utama yang menyebabkan membiasnya rasa kecintaan
masyarakat terhadap Budaya Rimpu, khususnya di kalangan perempuan.
Rimpu pada saat ini oleh sebagian besar perempuan Bima sudah dianggap
sebagai busana kampungan.
Alasan mereka, Rimpu merupakan busana
yang stagnan (begitu-begitu saja) dan tidak sepraktis memakai jilbab
seperti yang ada sekarang dengan pilihan corak dan jenis yang beraneka ragam.
Seperti itulah alasan yang menjadikan para perempuan Bima pada
umumnya tidak lagi mengenakan Rimpu.
Budaya Rimpu sekarang jarang sekali
kita temui dalam keseharian kaum perempuan Bima khususnya kalangan
remajanya. Rimpu sudah berganti dengan jilbab, Rimpu kalah bersaing
dengan kreasi hijab kontemporer yang menawarkan bebagai macam pola
berbusana hijab yang lebih menarik daripada Rimpu. Begitulah budaya
Rimpu kini, budaya yang mestinya menjadi ikon budaya justru sekarang
sudah 'ditirikan' di tanah kelahirannya sendiri.
Rimpu dan Corak Tenunan Bima Dengan
Inovasi Kekinian
Rimpu dan Tembe Nggoli seperti yang
telah diuraikan di atas merupakan 'dua sejoli' yang tidak mungkin
dipisahkan. Untuk tampil dengan busana Rimpu mesti dengan Tembe
Nggoli, seperti itulah yang dilakukan oleh perempuan Bima tempo dulu.
Tembe Nggoli adalah sarung hasil tenunan yang memiliki ornamen atau
motif tenunan yang cukup beragam. Sehingga Tembe Nggoli dengan
motif-motifnya tersebut memiliki kekhasan yang mampu memberikan
keidentikan tersendiri untuk mencirikan daerah Bima.
Tenunan Bima selain dipergunakan untuk
sarung (Tembe Nggoli) juga digunakan sebagai bahan untuk dibuatkan
baju. Saat ini sebagai upaya untuk terus melestarikan tenunan Bima,
Pemerintah Kabupaten Bima mewajibkan kepada seluruh jajaran
pegawainya untuk mengenakan seragam tenunan Bima selama jam kerja di
Hari Kamis.
Selain itu, ada upaya lain yang perlu
kita telaah lebih jauh sebagai wacana kreatifitas untuk melestarikan
Tenunan Bima beserta budaya Rimpu ini. Dengan mensubstitusikan corak
dan motif tenunan Bima ke dalam tampilan hijab kontemporer. Artinya,
nanti akan ada model jilbab yang dihiasi dengan ornamen-ornamen
seperti yang ada di tenunan Bima sekarang. Akan tetapi terkait dengan
jenis bahan yang digunakan akan tetap mengikuti kebutuhan sekarang,
karena dari beberapa sumber mengatakan jika tenunan Bima dijadikan
jilbab akan dirasa berat di bagian kepala sehingga membuat tidak
nyaman.
Di sisi lain dapat kita ketahui bersama
lewat media dan bahkan dapat kita amati langsung di sekitar kita,
bahwa cara dan bentuk pemakaian jilbab jenisnya beraneka ragam. Hal
inipun dapat kita subtitusikan ke dalam model pemakaian jilbab yang
mirip dengan bentuk pakaian Rimpu. Sehingga nantinya akan ada jilbab
dengan ornamen tenunan Bima dan cara pemakainnyapun mirip dan bahkan
seperti Rimpu yang semestinya. Hal ini cukup menarik untuk kita
pertimbangkan bersama dalam mendorong naluri kreatifitas kita.
Derasnya arus perputaran jaman yang
seperti sulit untuk kita bendung sebanding dengan perubahan yang kita
alami sekarang. Budaya Rimpu akan menjadi sejarah yang mungkin akan
dilupakan oleh generasi yang akan datang. Upaya inovasi seperti yang
diuraikakan di atas adalah bagian dari upaya untuk menyelamatkan
budaya Rimpu dan tenunan Bima walaupun tidak secara menyeluruh.
Meski demikian dengan upaya seperti ini
nantinya diharapakan mampu mengurai sejarah kepada anak -cucu kita,
bahwa inovasi ini bersumber adanya budaya Rimpu dan tenunan Bima.
Sehingga pengetahuan tentang sejarah Rimpu dan tenunan Bima akan
terus bisa kita riwayatkan secara estafet ke depannya sampai waktu
yang tak terbatas.
*Penulis : adalah Motivator Kampung
Media Mandiri ‘Salaja Kampo’
0 komentar:
Posting Komentar