Ungkapan
sebuah kejadian nyata terbalut tragedi yang terjadi di sekitar kita,
tentang si Sulung yang terus berjuang sepeninggal Sang Ayah. Si
Sulung yang harus berjuang mengurusi adik-adiknya, di saat si Ibu
sibuk dengan beberapa calon bapak tiri anak-anaknya. Kisah ini oleh
sahabat kita, diuraikan dalam sebuah tulisan dengan tajuk :
SERPIHAN
LARA SI SULUNG
Semburat
layu senja di sela dedaunan Akasia menguning melengkapi laranya.
Seharusnya
dibelia usianya dia sedang asyik Menakar bergantang mimpi.
Tentang
potongan pelangi di ufuk hasratnya yang menjulang.
Tapi
kemiskinan melahap rakus setiap episode mimpinya. Rintihan lapar dua
adiknya yang mesti dikenyangkan.
Dan
sang ibu yang baru setahun menjanda bak gadis remaja kasmaran,
Sibuk
bersolek agar cantik saat dijemput suami teman sekampung.
Selalu
ada dialog bathin tentang jawaban sebuah Tanya.
Tentang
alasan suatu kejadian yang berujung pada pembenaran yang tidak logis,
Untuk
setiap ketidak-wajaran yang dialami.
Karena
dia mencintai sang ibu tanpa syarat.
Walau
dia tahu cinta tak bersyarat itu tak mampu menebus masa-masa
indahnya,
Yang
tergadai oleh ausnya naluri keibuan dari perempuan yang dipanggilnya
ibu.
Terkadang
dalam lelah yang pekat,
Bijaksana
pecah menjadi serpihan amarah yang ingin mengingkari takdir Dimana
kau ibu...????
Saat
kesedihan ini mencari ruang untuk melarutkan air mataku, Kau tak
tahu... Sepupumu yang kupanggil paman melecehkanku.
Kau
sibuk dengan si penggembira semumu,
Hingga
matamu melihatku hanya sebagai kuncup anggrek. Walaupun indah tapi
tetaplah benalu yang tak kau jaga,
Hingga
terpetik layu sebelum mekar.
Andai
segala ingin bermuara pada pengabulan.
Sayangnya
hidup bukan pilihan,
Melainkan
segaris jalan yang tertapaki berakhir di persimpangan.
Antara
menerima kesempitan sebagai ujian,
Kesabaran
atau pengingkaran sebuah ketentuan,
Yang
mewujud dalam umpat serapah atas laku-Nya.
Ratapan
itu boleh saja menguap
Bersama
asap jagung bakar jualannya yang tak lelah dikipasinya.
Harapannya
mungkin sirna bersama hilangnya wangi parfum murahan dari tubuh sang
ibu.
Yang
terkekeh genit berlalu menjauh dalam boncengan (lagi- lagi) lelaki
asing.
Tapi
doanya selalu teruntai indah di antara sisa desah nafasnya.
Tuhan…..!
Beri
aku Ibu tak secantik impian.
Cukup
Ibu yg mengerti dan menerima cintaku yang sepanjang hidup.
Walau
kutahu cintanya padaku hanya sepanjang galah.....
*Oleh
: Yuyun Amiruddin (Bidan di PKM Palibelo/ Anggota KM. Salaja Kampo)
0 komentar:
Posting Komentar