Sabtu, 08 Februari 2014





Ungkapan sebuah kejadian nyata terbalut tragedi yang terjadi di sekitar kita, tentang si Sulung yang terus berjuang sepeninggal Sang Ayah. Si Sulung yang harus berjuang mengurusi adik-adiknya, di saat si Ibu sibuk dengan beberapa calon bapak tiri anak-anaknya. Kisah ini oleh sahabat kita, diuraikan dalam sebuah tulisan dengan tajuk :

SERPIHAN LARA SI SULUNG

Semburat layu senja di sela dedaunan Akasia menguning melengkapi laranya.
Seharusnya dibelia usianya dia sedang asyik Menakar bergantang mimpi.
Tentang potongan pelangi di ufuk hasratnya yang menjulang.

Tapi kemiskinan melahap rakus setiap episode mimpinya. Rintihan lapar dua adiknya yang mesti dikenyangkan.
Dan sang ibu yang baru setahun menjanda bak gadis remaja kasmaran,
Sibuk bersolek agar cantik saat dijemput suami teman sekampung.

Selalu ada dialog bathin tentang jawaban sebuah Tanya.
Tentang alasan suatu kejadian yang berujung pada pembenaran yang tidak logis,
Untuk setiap ketidak-wajaran yang dialami.
Karena dia mencintai sang ibu tanpa syarat.
Walau dia tahu cinta tak bersyarat itu tak mampu menebus masa-masa indahnya,
Yang tergadai oleh ausnya naluri keibuan dari perempuan yang dipanggilnya ibu.

Terkadang dalam lelah yang pekat,
Bijaksana pecah menjadi serpihan amarah yang ingin mengingkari takdir Dimana kau ibu...????

Saat kesedihan ini mencari ruang untuk melarutkan air mataku, Kau tak tahu... Sepupumu yang kupanggil paman melecehkanku.
Kau sibuk dengan si penggembira semumu,
Hingga matamu melihatku hanya sebagai kuncup anggrek. Walaupun indah tapi tetaplah benalu yang tak kau jaga,
Hingga terpetik layu sebelum mekar.

Andai segala ingin bermuara pada pengabulan.
Sayangnya hidup bukan pilihan,
Melainkan segaris jalan yang tertapaki berakhir di persimpangan.
Antara menerima kesempitan sebagai ujian,
Kesabaran atau pengingkaran sebuah ketentuan,
Yang mewujud dalam umpat serapah atas laku-Nya.

Ratapan itu boleh saja menguap
Bersama asap jagung bakar jualannya yang tak lelah dikipasinya.
Harapannya mungkin sirna bersama hilangnya wangi parfum murahan dari tubuh sang ibu.
Yang terkekeh genit berlalu menjauh dalam boncengan (lagi- lagi) lelaki asing.
Tapi doanya selalu teruntai indah di antara sisa desah nafasnya.

Tuhan…..!
Beri aku Ibu tak secantik impian.
Cukup Ibu yg mengerti dan menerima cintaku yang sepanjang hidup.
Walau kutahu cintanya padaku hanya sepanjang galah.....


*Oleh : Yuyun Amiruddin (Bidan di PKM Palibelo/ Anggota KM. Salaja Kampo)

0 komentar:

Posting Komentar